Manusia berkembang atas dasar ilmu pengetahuan. Entah itu berbasis eksak (sains) maupun non eksak (sosial, agama, budaya). Perpaduan dasar-dasar ilmu ini menjadikan kehidupan manusia dinamis, setiap saat mengalami perubahan. Proses ini seharusnya bisa menghasilkan perkembangan yang menggembirakan, mengantarkan manusia menuju proses hidup yang lebih baik.
Namun, kenyataan yang muncul di lapangan berbeda. Ilmu pengetahuan malah menjadi senjata makan tuan. Pertikaian dimana-mana ada, adu senjata dan korban pun tak terhindarkan. Belum lagi adu debat para pakar yang kadang tak da habisnya. Apakah pantas, pentas sandiwara dunia ini kita isi dengan adu ilmu yang hanya menghasilkan luka ? Bagaimana jika luka itu adalah goresan di hati yang menjadi yang sulit pulih ?

Apakah itu karena kita belajar hanya untuk uang ? Kemewahan dunia ? Sekedar menjadi modal agar bisa menjadi selebriti dan menggaet jodoh dari kalangan berada ? Atau mungkin ilmu sekedar untuk alat naik jabatan di dunia kerja ?
Coba kita tarik kembali waktu di masa lalu, saat kita masih kecil. Polos, tanpa pemahaman apapun, bisanya cuman nangis dan merengek minta diperhatikan. Buat apa kemudian kita dimasukkan ke sekolah ? Buat apa kemudian mengejar pendidikan tambahan semacam les-les berbiaya cukup besar ? Bukankah itu tidak lain agar kita punya wawasan ? Agar kita jadi manusia yang baik ? Lantas, apakah yang disebut baik itu diukur dari kejayaan di dunia ?
Terkait ini, saya punya analisis tersendiri. Memang ini masih bersifat subyektif. Akan tetapi, saya tidak mungkin berani menulis atau bicara ngawur jika terkait dengan ilmu.
Seharusnya, dengan belajar hingga mungkin harus keluar negeri, akan banyak macam tumpukan informasi. Entah ia bersumber dari kitab/buku, maupun pengalaman praktik yang terakumulasi bertahun-tahun. Kelak, di akhir cerita dari pencarian segala macam ilmu ini akan mengantarkan, bagaimana ia memahami dan mengenali dirinya sendiri.
Akumulasi pendidikan itu juga bisa mempengaruhi karakter, sehingga menjadi pribadi yang lebih baik.
Nah, agar semua tujuan itu tercapai, tak cukup jika seseorang hanya mengandalkan pendidikan formal yang cenderung mengandalkan logika berfikir. Tak cukup pula, jika mengembangkan skill secara otodidak.
Ada ranah tertentu, yang tak akan mampu dikuasai sendirian. Haruslah ia dibimbing oleh seorang ahli yang mumpuni. Tak cukup hanya berlabel coach, konselor, ustad, kyai bahkan (maaf) habaib. Masalahnya, ranah tertentu itu adalah tentang hati. Inilah unsur kehidupan yang tak kasat mata. Tak semua orang pegang kunci untuk membereskan masalah di sektor ini.
Hanya sebagian orang yang disebut guru mursyid, yang mampu menyentuh ranah ini. Beliau-beliau akan mengajarkan bagaimana pendidikan mampu menembus batiniah, yang selama ini kering akan pengetahuan tentang Tuhan dan agama. Bukan kemudian untuk jadi orang pintar atau dukun, namun agar mengenali bagaimana sisi lain pendidikan mampu menyentuh hati nurani, agar setiap manusia menyadari setiap hal terkait dirinya, terutama tentang potensi diri yang belum terjamah.
Cari dan temukanlah guru mursyid ini, kawan. Jangan cuma bingung akan pendidikan formal dan gelar. Uruslah juga pendidikan untuk hati nurani.

Tanpa kendali dari hati yang bersih dan bening, maka ilmu pengetahuan apapun rawan melahirkan kesedihan dan bencana. Manusia akan cenderung menjadi budak dunia. Ilmu pengetahuan pun cuma sebatas sarana pemuas nafsu yang tak terbatas.

Malang, 1 Maret 2020
Rahayu Sagung Dumadi 🙏 Memayu Hayuning Bawono 🙏
#odopbloggersquad #seratbudiluhur #gurumursyid #perjalananhidup #ngajiurip #matisijimatikabeh #muktisijimuktikabeh #pejalanmalam #melepasbatas
Tanpa kendali dari hati yang bersih dan bening, maka ilmu pengetahuan apapun rawan melahirkan kesedihan dan bencana. Manusia akan cenderung menjadi budak dunia. Ilmu pengetahuan pun cuma sebatas sarana pemuas nafsu yang tak terbatas
Ini bener banget. Semakin tinggi ilmu seharusnya semakin membawa kebaikan.
SukaSuka
Makanya manusia sebenernya btuh guru pembimbing mbak.. sebelum nantinya bisa bener2 kuat mengendalikan diri sendiri
SukaSuka